Beranda | Artikel
Tema Dan Isi Khutbah Jumat
Selasa, 5 Januari 2010

TEMA DAN ISI KHUTBAH JUM’AT

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari

Adapun tentang tema dan isi khutbah ditunjukkan oleh hadits-hadits dan penjelasan para ulama di bawah ini. Hadits Jabir bin Samurah, dia berkata,

كَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan dua khutbah. Beliau duduk diantara keduanya. (Dalam khutbahnya) Beliau membaca Al Qur’an dan mengingatkan manusia” [HR Muslim, no. 862].

Hadits Jabir bin Abdullah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَخَيْرُ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang banyak. Beliau memuji Allah, menyanjungNya dengan apa yang pantas bagi Allah, lalu Beliau bersabda,”Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah, tidak ada seorangpun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan, maka tidak ada yang memberinya petunjuk. Sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah.” [HR Muslim, no. 867]

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ َيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ

Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya tinggi, dan kemarahannya sungguh-sungguh. Seolah-olah Beliau memperingatkan tentara dengan mengatakan “Musuh akan menyerang kamu pada waktu pagi”, “Musuh akan menyerang kamu pada waktu sore”.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata,”Aku diutus dengan hari kiamat seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dua jarinya: jari telunjuk dan jari tengah.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Amma ba’d.

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru, dan seluruh bid’ah (perkara baru) adalah kesesatan.
Kemudian Beliau berkata: “Aku lebih dekat kepada tiap-tiap orang mukmin daripada dirinya sendiri. Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka hartanya untuk keluarganya (yaitu ahli warisnya). Dan barangsiapa mati meninggalkan hutang dan orang-orang yang harus ditanggung (anak-anak, isteri, atau lainnya), maka kepadaku dan tanggunganku”. [HR Muslim, no. 867].

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ بِنْتٍ لِحَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَتْ مَا حَفِظْتُ ق إِلَّا مِنْ فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِهَا كُلَّ جُمُعَةٍ

Dari putri Haritsah bin An Nu’man, dia berkata,”Tidaklah aku menghafal surat Qaaf, kecuali dari mulut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkhutbah dengan surat Qaaf setiap Jum’at.” [HR Muslim, no. 873; Abu Dawud; dan An Nasa’i].

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,”Sepantasnya seorang imam berkhutbah dengan khutbah yang sebentar (ringan). Imam membuka khutbahnya dengan hamdallah, memujiNya berulang-ulang, membaca syahadat, bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memberi nasihat, mengingatkan, membaca surat (Al Qur’an). Kemudian duduk dengan duduk sebentar, lalu bangkit, kemudian berkhutbah lagi: membaca hamdallah, memujiNya berulang-ulang, bershalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mendo’akan mukminin dan mukminat.”[1]

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,”Aku menyukai imam berkhutbah dengan (membaca) hamdallah, shalawat atas RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nasihat, bacaan (ayat Al Qur’an), dan tidak lebih dari itu.”[2]

Al ‘Izz bin Abdus Salam rahimahullah berkata: Tidak sepantasnya bagi khathib menyebutkan di dalam khutbahnya, kecuali yang sesuai dengan tujuan-tujuan khutbah. Yaitu: pujian (untuk Allah), do’a, targhib (anjuran kebaikan), dan tarhib (ancaman kemaksiatan). Dengan cara menyebutkan janji dan ancaman (Allah dan RasulNya), dan semua yang akan mendorong kepada ketaatan, atau mencegah dari kemaksiatan, demikian juga (dengan) bacaan Al Qur’an. Dan kebiasaan Nabi dalam banyak kesempataan, yaitu berkhutbah dengan surat Qaaf, karena surat itu mengandung dzikir kepada Allah, pujian kepadaNya, ilmuNya terhadap apa yang dibisik-bisikan jiwa manusia, dan terhadap apa yang ditulis oleh Malaikat, berupa ketaatan dan kemaksiatan. Kemudian menyebutkan kematian dan sakaratil maut. Menyebutkan kiamat dan perkara-perkara yang menakutkan padanya. Persaksian terhadap makhluk dengan amal-amalnya. Menyebutkan sorga dan neraka. Juga menyebutkan kebangkitan dan keluar dari kubur. Kemudian wasiat dalam menegakkan shalat. Maka, isi khutbah yang keluar dari tujuan-tujuan ini merupakan bid’ah. Di dalam khutbah, tidaklah pantas disebutkan khalifah-khalifah, raja-raja, dan amir-amir (Yakni memuji-muji para penguasa zhalim. Adapun memuji dan mendo’akan kebaikan penguasa shalih, maka tidaklah mengapa, wallahu a’lam, Pen), karena tempat ini khusus bagi Allah dan RasulNya, dengan menyebutkan apa-apa yang mendorong ketatan kepadaNya dan mencegah maksiat kepadaNya. Allah berfirman,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah“.[Al Jin/72:18].

Seandainya terjadi suatu peristiwa pada kaum muslimin, maka tidak mengapa membicarakan perkara yang berkaitan dengan peristiwa tersebut sesuai apa yang dianjurkan oleh agama. Seperti kedatangan musuh, dan khathib mendorong untuk berjihad melawannya, bersiap-siap menyongsongnya. Juga jika terjadi kekeringan, yang perlu mohon hujan kepada Allah, maka khathib berdo’a agar kekeringan itu dihilangkan. Dan kewajiban khathib, ialah meninggalkan perkataan-perkataan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. Ini termasuk bid’ah yang buruk. Karena sesungguhnya tujuan khutbah adalah memberi manfaat kepada hadirin dengan targhib (anjuran kebaikan) dan tarhib (ancaman dari kemaksiatan). Serupa dengan hal itu, ialah khathib berkhutbah kepada bangsa Arab dengan kata-kata asing, yang mereka tidak memahaminya, wallahu a’lam. (Seperti yang dilakukan sebagian kaum muslimin di kampung-kampung di Indonesia, berkhutbah dengan bahasa Arab, padahal hadirin tidak ada yang memahaminya, pen.).[3]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dan pokok-pokok khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pada bacaan hamdalah, sanjungan kepada Allah atas nikmat-nikmatNya, sifat-sifat kesempurnaanNya, dan pujian-pujian kepadaNya. Juga pengajaran kaidah-kaidah Islam, menyebutkan Jannah (surga), Naar (neraka), hari kiamat, perintah taqwa, penjelasan sebab-sebab kemurkaan Allah, dan tempat-tempat keridhaanNya. Berdasarkan inilah pokok-pokok khutbah Beliau.”[4]

Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata,”Sebagian orang yang mulia telah berkata: Khutbah yang paling tepat adalah yang sesuai dengan zaman, tempat, dan keadaan. Ketika ‘Idul Fithri, khathib menjelaskan hukum-hukum zakat fithrah. Di daerah yang penduduknya berselisih, menjelaskan persatuan. Atau orang-orang malas menuntut ilmu, khathib mendorong mereka menuntut ilmu. Orang tua-orang tua membiarkan pendidikan anak-anak, khathib mendorong mereka untuk itu, dan lain-lain yang sesuai dengan keadaan orang banyak, selaras dengan pendapat (kebutuhan) mereka, dan sesuai tabi’at mereka. Seseorang hendaklah berkhutbah sesuai dengan tempat dan keadaannya, memperhatikan keadaan manusia, memperhatikan perbuatan mereka, dan kejadian-kejadian setiap pekan. Kemudian, ketika naik mimbar, melarang mereka dari (kemungkaran) dan mengingatkan mereka terhadap kejadian-kejadian itu. Semoga mereka mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus.”[5]

Demikianlah sedikit penjelasan tentang tema khutbah Jum’at. Maka, hendaklah seorang khathib pandai memilih tema yang bermanfaat untuk kaum muslimin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Badai’ish Shanai’, 1/263. Dinukil dari Majalah Al Ashalah, Edisi 21, 15 Rabi’ul Akhir 1420H, hlm. 67
[2] Al Umm, 1/203. Dinukil dari Majalah Al Ashalah, Edisi 21, 15 Rabi’ul Akhir 1420H, hlm. 67
[3] Fatawa Al ‘Izz bin Abdus Salam, hlm. 77, 78. Dinukil dari Al Qaulul Mubin Fi Akhthail Mushallin, hlm. 371, 372
[4] Zadul Ma’ad, 1/188
[5] Catatan kaki kitab Al Qaulul Mubin Fi Akh-thail Mushalin, hlm. 367


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2619-tema-dan-isi-khutbah-jumat.html